THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 05 Februari 2013

Last Farewell



Vicky berjalan ke depan kelas setelah dia mendengar bel istrahat berbunyi. Vicky mencoba untuk mencegah teman-teman di kelasnya untuk keluar kelas karena dirinya hendak memberikan pengumuman.
“Tunggu.. jangan pergi dulu. Ada yang ingin aku sampaikan...” katanya. Kebetulan Vicky adalah ketua kelas di kelasnya. Setelah melihat teman-temannya yang mulai terkendali dan kembali duduk di bangkunya masing-masing, Vicky melirik ke arah seorang sahabatnya, Excel. “Tapi... yang akan menyampaikan pengumuman ini bukan aku...”
Excel mengernyitkan keningnya seolah mengerti maksud dari Vicky. Dan benar saja, “Tapi Excel...”
“Hah? Kenapa aku?” tanyanya polos.
“Sudah ayolah cepat...” ajak Vicky seraya menarik lengan Excel untuk segera bangkit dari tempat duduknya.
Sejenak Excel hanya diam. Kemudian dia memberi kode kepada Vicky untuk menyampaikan pengumuman itu. Tapi Vicky menolak dengan terus mendorongnya untuk menyampaikan pengumuman itu.
“Karena hari ini adalah hari terakhir Lana di sekolah kita...” katanya terpotong. Dia lalu menatap Vicky dan akhirnya melanjutkan perkataannya, “Bagaimana kalau malam ini kita adakan pesta perpisahan...”
Sementara itu, Lana terkejut sekali dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Rindo. Apakah sepenting itu dirinya? Dia hanya siswa beruntung dari sekolah negeri di kotanya yang mendapat kesempatan untuk menghabiskan satu semesternya di sekolah bertaraf internasional di ibukota. Dia merasa tidak enak dengan adanya pesta perpisahan yang seolah-olah dirinya memang murid sekolah itu.
Begitupun dengan Jessica yang juga terkejut. Untuk apa mengadakan pesta perpisahan untuk gadis desa itu? Pikirnya dalam hati. Tapi bukan Jessica namanya jika tidak mengutarakan apa yang ada di benaknya, “Untuk apa? Dia kan hanya siswa pertukaran pelajar...”
Merasa tidak enak, Lana pun akhirnya bicara, “Iya benar.. tidak perlu ada perpisahan segala..”
Tapi.. mungkin dalam kelas itu hanya Jessica saja yang tidak suka dengan rencana yang baru saja diutarakan oleh Excel. Toh buktinya beberapa anak di kelas tersebut menyetujuinya. “Kenapa tidak usah? Kau juga bagian dari kami...” lalu yang lain juga ikut merespon, “Iya benar... adakan saja pesta perpisahan itu...” ada juga yang merespon seperti ini, “Ya lagipula kami tidak punya rencana apapun nanti malam...”
Excel menatap Lana yang masih bingung dan merasa tidak enak. Dia menatapnya lekat. Tapi kemudian Excel mengalihkan pandangannya kembali ke arah semua teman-temannya setelah Lana membalas pandangannya. “Baiklah,, kalau begitu nanti malam di rumahku jam 7 kalian harus sudah datang...”
“Di rumahmu??” tanya Jessica.
“Iya.. ada masalah? Atau kau ingin pesta itu diadakan di rumahmu?” tanya Excel sinis.
Jessica tidak menjawab. Dan karena Jessica tidak lagi meresponnya, Excel memberikan peringatan. “Kalau ada di antara kalian yang tidak ingin datang tidak apa-apa.. aku hanya mengundang siapapun yang mau datang...” katanya mengakhiri pengumuman itu.
***
            Pesta sudah di mulai. Ternyata semua anak di kelasnya datang ke pesta itu. Termasuk juga Jessica. Pastinya gadis itu tidak ingin melihat pria incarannya, Excel, mendekati Lana. Karena hal itulah yang membuat Jessica begitu tidak menyukai Lana.
            Lana begitu terharu melihat kejutan-kejutan di pesta itu. Dia hampir menangis melihat sebuah banner yang terpasang di dinding bertuliskan, “Goodbye our bestiest friend.. We love you..”. Dan juga begitu meriahnya pesta itu yang membuat dia semakin ingin menangis.
            Excel mengampiri Lana dan memberikan sebuah spidol warna merah untuknya. Dia kemudian menjelaskan apa yang harus dilakukan Lana, “Kau harus menuliskan kesan dan pesanmu untuk semua teman di kelas di papan itu...” katanya sambil menunjuk ke papan yang penuh dengan tempelan kertas-kertas yang masing-masing sudah ditulisi nama anak-anak sekelasnya.
            “Aku harus menulis untuk 20 orang?” tanya Lana.
            “Ya benar... sedangkan kami akan menuliskannya juga untukmu di papan yang satunya..” kata Excel sambil menunjuk papan yang tepat di taruh berdampingan dengan papan yang satunya lagi.
            “Baiklah...” kata Lana sambil menuju papan tersebut.
            Lana mulai menuliskan kesan dan pesannya untuk teman-temannya sesuai dengan urutan abjad. Hingga tibalah gilirannya dia harus menuliskan kesan dan pesannya untuk Excel. Dan tepat disaat itu pula Excel juga mendapat giliran untuk menulis di papan yang satunya. Lana melirik Excel. Lalu ketika tatapan mereka beradu, keduanya saling tersenyum dan kemudian melanjutkan untuk menulis.
Excel.. terima kasih untuk pestanya. Aku sangat senang..
Kau adalah pria terbaik yang pernah kukenal...
            Dia sedikit membedakan isi pesan untuk Excel. Ya tentu saja. Pria itu sangat baik padanya sejak dia datang ke sekolah. Dia bahkan bingung harus berkata apa untuk berterimakasih kepada Excel. Sayangnya kertas yang disediakan begitu kecil. Jadi dia tidak bisa menulis terlalu banyak.
            Setelah selesai menulis semua pesan untuk 20 orang temannya, Lana kemudian membaur dengan teman-temannya yang lain. Kemudian acara selanjutnya adalah persembahan dari teman-teman untuk Lana. Satu persatu teman maju ke depan untuk bernyanyi atau sekedar mengucapkan selamat tinggal untuk Lana.
            Excel kemudian duduk di samping Lana dan berbisik, “Sama-sama...”
            Lana terkejut. Dia menoleh ke arah Excel yang tengah tersenyum menatapnya. Kemudian Excel menunjukkan kertas miliknya yang bertuliskan pesan dari Lana. Melihat kertas itu, Lana pun tersenyum malu.
            “Apa kau akan kembali lagi kesini?” tanya Excel tanpa menatap Lana tapi memfokuskan pandangannya ke arah Bernard yang tengah memetik gitarnya.
            Lana terdiam sejenak dan kemudian berkata, “Aku... sepertinya tidak...”
            “Apa kau tidak ingin melanjutkan sekolahmu disini? Di kota besar ini...” tanya Excel lagi.
            “Aku tidak tau... Hanya sepertinya tidak mungkin... Orangtuaku tidak punya uang sebanyak itu...” jawab Lana lirih.
            Excel menelan ludah dengan rasa pahit. Lalu dia menatap Lana lekat. “Baiklah... lalu bagaimana agar aku bisa bertemu denganmu lagi?” tanyanya pelan.
            Lana ragu dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Excel. Dia tidak mendengarnya dengan jelas. “Apa?” tanyanya.
            Namun Excel tidak mengulang perkataannya. Apalagi Vicky tengah meneriakinya untuk segera maju dan memberikan persembahan untuk Lana. “Aku harus kesana..” katanya sambil pergi. Setelah sampai di depan, Excel mengambil gitar yang tadi dipakai Bernard dan segera menyanyikan sebuah lagu berjudul Don’t Sleep Away This Night untuk Lana.
            Mata Lana berkaca. Entah kenapa rasanya dia tidak ingin pulang. Meskipun dia merindukan orangtuanya, tapi entah mengapa dia ingin tetap disini. Dia punya satu alasan, tapi dia tidak mengerti mengapa alasan itu harus menahannya disini. Alasannya adalah Excel. Hanya Excel. Tidak ada alasan-alasan lainnya. Dan menurutnya itu konyol.
***
LANA!
            Hanya itu yang tertulis di kertas pesan dari Excel. Sementara teman-temannya yang lain menuliskan banyak kesan dan pesan, Excel hanya menulis nama Lana di kertas itu. Apa yang kau pikirkan saat menulis namaku? Tanya Lana dalam hati. Meskipun begitu, Lana senang membaca tulisan Excel. Tapi ada satu pesan yang sedikit membuat hatinya panas. Pesan dari Jessica yang menggambarkan betapa senangnya Jessica bahwa Lana akan pergi.
            Lana merapihkan semua kertas-kertas tersebut dan menaruhnya kembali di tasnya. Tapi dia tidak mencampur kertas milik Excel. Dia terus memandanginya bahkan menaruhnya di dadanya. Sesekali Lana melihat ke sekeliling stasiun. Berharap Excel datang untuk mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya. Tapi sayangnya kereta sudah datang. Lana bangkit dari tempat duduk dan mengambil semua barangnya.
            Masih dalam keraguannya untuk masuk ke dalam kereta, untuk terakhir kalinya Lana mencoba mengelilingi stasiun dengan kedua matanya. Namun dia tidak menemukan seseorang yang diharapkannya datang. Akhirnya dengan yakin Lana masuk ke dalam kereta dan duduk tepat di sampung jendela. Tak berapa lama kereta pun berjalan. Dan tepat disaat kereta baru berjalan, Lana mendengar seseorang memanggil namanya.
            “LANAAAAA...”
            Lana mendongakkan kepalanya ke jendela dan menemukan Excel tengah mengejar keretanya. “Excel....” balas Lana dengan kesedihan dihatinya.
            Susah payah Excel mengejar kereta untuk bisa berdiri di samping jendela Lana untuk memberikan sesuatu kepadanya. Setelah hampir dekat, Excel menjulurkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Lana. Lana berusaha untuk mengambilnya dengan susah payah. Dan setelah kotak itu berhasil diraihnya, Excel berhenti berlari dan menggantinya dengan melambaikan tangannya kepada Lana. Lana membalas lambaian tangan Excel sambil menangis. Dan dilihatnya kini Excel berlari lagi agar dapat melihatnya dengan jelas. Namun kecepatan kereta semakin bertambah setelah keluar dari stasiun. Alhasil, Excel tidak lagi mampu melihat Lana.
            Lana menangis terisak di kereta dan mencoba membuka kotak pemberian Excel. Sebuah buku diari kecil dan surat merah jambu. Dia kemudian membuka surat kecil itu dan membacanya dalam hati.
Lana... aku suka namamu...
Aku berhutang kesan dan pesan untukmu...
Maaf aku tidak menulis apapun selain namamu di kertas itu...
Kau tau kenapa? Karena namamu selalu terlintas di benakku...
Mungkin aku telat menyadarinya bahwa kau berarti...
Percayalah, kau dan aku akan bertemu lagi...
Buku ini... kenapa aku memberikannya untukmu?
Selama aku belum menemuimu berjanjilah untuk menuliskan hal-hal yang kau lalui di buku itu...
Anggaplah itu aku... aku tidak ingin melewati setiap detik kebahagian ataupun kesedihan yang kau lalui...
Kau harus mengembalikan buku itu padaku ketika kita bertemu nanti...
Aku mencintaimu... Jika kau bertanya kenapa aku mencintaimu
Alasannya karena aku mencintaimu…
Dan kau adalah Lana…