THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 02 Januari 2013

Canon in Love Bab 17 & 18



BAB 17

            Sudah jam lima sore. Raka tidak juga muncul di taman itu. Hujan pun sudah reda dan pelangi muncul dengan indahnya. Moni tersenyum melihat pelangi itu. Seandainya aja Raka ada di sana dan melihat pelangi yang terlihat jelas di taman itu. Tapi, Raka tidak ada… Apa mungkin Raka tidak datang sekarang? Atau… Raka melupakan janjinya atau melupakan dirinya?
            Moni hampir meneteskan kembali air matanya. Nggak!! Dia nggak mau berburuk sangka kepada Raka. Dia yakin Raka masih ingat dengannya dan tidak pernah melupakannya. Raka pasti kembali. Hanya saja bukan hari ini. Mungkin besok… batinnya.
            Melihat pelangi itu… Moni jadi ingat akan hari itu. Hari dimana dia dan Raka mengejar pelangi itu agar bisa melihatnya lebih jelas. Sampai akhirnya, dia dan Raka menemukan tempat itu. Moni tidak pernah menyangka kalau hari itu hari terakhir dia bersama Raka. Hari dimana dia menyadari akan perasaannya terhadap cowok itu.
            Moni memandangi foto dirinya dan Raka yang diambil oleh mereka berdua menggunakan kamera ponsel. Foto yang selalu ditaruhnya di dalam dompet dan tidak pernah digantikan oleh foto-foto lainnya. Never
            Moni memutuskan untuk pulang. Mungkin besok Raka akan pulang. Mungkin bukan hari itu. Katanya dalam hati untuk meyakinkan dirinya yang mulai kacau dengan pikirannya yang jahat. Dia yakin semua orang akan sangat heran melihatnya yang basah kuyup. Begitupun dengan Farant.
***
           Moni membuka pintu rumahnya. Di ruang tengah, Farant sudah menunggu adiknya. Dan setelah Moni pulang, Farant menyambutnya dan hendak melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat banyak. Tapi… dia tidak melihat sedikitpun senyum di wajah adiknya. Moni malah terlihat sedih dan tak bersemangat.
            “Dek… gimana? Kamu udah ketemu sama Raka?” tanya Farant sambil memegang pundak Moni.
            Moni menghempaskan tangan Farant dan berjalan menuju kamarnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
            “Dek… kamu kenapa?” Farant bingung dengan sikap Moni. Tadi pagi Moni begitu semangat untuk pergi menemui Raka. Tapi sekarang… Moni tidak lagi seperti tadi pagi.
            Farant mengikuti Moni yang berjalan ke kamarnya. Walaupun akhirnya langkahnya terhenti karena Moni menutup pintu kamarnya sebelum dirinya masuk. Tapi Farant tidak menyerah. Dia membuka pintu kamar adiknya dan mendekati Moni yang tengah berbaring di tempat tidurnya dengan wajah ditutupi bantal.
            “Dek…” Farant mencoba melepaskan bantal yang menutupi wajah Moni. Tapi Moni menahannya. “Raka… nggak dateng?” tanya Farant kemudian.
            Moni menatap Farant. Dia menaruh bantal yang tadi digunakan untuk menutupi wajahnya. Dan dia menangis sejadinya di hadapan kakaknya. Melihat adiknya menangis, Farant tau kalau dugaannya benar. Raka tidak datang. Farant pun meraih adiknya dan memeluknya erat. Dia mengerti perasaan adiknya. Dia mengerti mengapa adiknya sampai seperti itu. Dia mengerti bagaimana perasaan rindu yang sudah lama dibendung oleh adiknya. Toh.. selama ini, Raka tidak menghubungi adiknya dan bahkan tidak bisa dihubungi.
            “Nggak apa-apa Kak… mungkin Raka nggak bisa dateng sekarang…” kata Moni dengan suara parau.
            Farant mengangguk dan mengerti. Dia bisa merasakan kesedihan adiknya.  “Iya… kamu sabar ya…” Raka mengusap air mata yang menetes di pipi Moni. “Besok… mau Kakak temenin ke taman itu?”
            Moni menggelengkan kepalanya. “Nggak usah Kak… aku… biar aku sendiri aja…”
            Farant mengangguk. Sebenarnya, dia hanya khawatir kalau besok hal itu akan terjadi lagi. Tapi.. Farant sangat berharap kalau besok Raka benar-benar datang dan tidak melupakan janjinya.
***
            Hari itu Moni kembali mengunjungi Taman Pelangi. Dia sangat berharap kalau hari itu dia bisa melihat Raka lagi. Dan… tidak ada lagi kesedihan yang meliputi dirinya. Moni kembali duduk di bawah pohon yang dulu menjadi kenangannya bersama Raka. Dia terus bersabar menunggu Raka, meskipun di hatinya penuh dengan kecemasan.
           Tapi sepertinya, kejadian kemarin terulang lagi. Berjam-jam dia menunggu Raka, tapi cowok itu tidak muncul. Moni mulai cemas. Apa mungkin Raka tidak akan pernah kembali? Tanyanya dalam hati. Apalagi, sampai saat ini, dia tidak pernah tau apa sebenarnya tujuan kepergian Raka ke Amerika. Yang hanya dia tau, Raka akan kembali setelah tiga tahun dan berharap bisa bertemu dengan Moni di taman ini.
            Bukan! Teriak Moni dalam hati. Dia mencoba mengkaji ulang dan mengingat-ingat kalimat Raka saat terakhir kali mereka bertemu. Raka tidak bilang kalau dia akan menemui Moni di taman itu kan? Dia hanya bilang akan menemui cewek itu di tempat waktu itu. Dimana? Sepertinya terlalu banyak tempat yang dikunjunginya bersama Raka. Apa mungkin, bukan di Taman Pelangi? Tanya Moni bingung.
            Apa mungkin… maksudnya di halte bus? Halte bus tempat mereka berteduh sewaktu pada malam perpisahan kakak kelasnya. Apa mungkin halte bus itu yang dimaksud Raka? Karena, tempat itu juga menyimpan kenangan indah kan? Tapi tunggu dulu… ada dua halte bus yang menjadi tempat paling bersejarah bagi Moni. Halte bus dekat sekolah dan halte bus dekat mall. Halte bus dekat mall menjadi kenangan terakhir Moni dan Raka saat berteduh. Ketika Moni pertama kali tau kalau Bunda dan Ayahnya bercerai. Jadi… kemana dia akan pergi?
            Moni bangkit. Dia bergegas pergi menuju halte bus dekat mall. Apa salahnya mencoba mencari Raka ke tempat itu. Walaupun kemungkinanya kecil, tapi mungkin saja Raka benar-benar ada di tempat itu.
            Moni mempercepat langkahnya dengan berlari kecil. Dia harus segera sampai ke halte bus itu. Kalau benar yang dimaksud Raka adalah halte bus itu, Moni nggak mau membuat cowok itu menunggu terlalu lama. Moni mencari taksi yang melintas di dekat taman tersebut. Tapi… tak satupun taksi lewat di tempat itu. Dia pun memutuskan untuk berjalan dan menunggu bus yang lewat. Tak lama kemudian, sebuah bus kota melintas dan Moni segera naik ke bus yang sebenarnya sudah penuh dengan penumpang. Nggak apa-apa… Batin Moni. Yang terpenting, dia bisa sempat sampai ke halte bus itu.
            Bus berhenti di halte bus yang dituju oleh Moni. hampir semua penumpang turun dari bus tersebut. Begitupun dengan Moni. dia berharap, ketika dia turun dari bus itu, Raka bisa terlihat di halte itu dan menyambutnya. Tapi… sampai kakinya menginjak tanah, dia tidak melihat sosok Raka. Raka nggak ada di halte itu… teriak Moni dalam hati.
            Moni terduduk lemas di bangku halte. Moni jadi pesimis bisa bertemu lagi dengan Raka. Air mata pun mengalir deras di pipi Moni. Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang berlalu-lalang di halte itu dan melihatnya heran. Dia nggak peduli. Dia hanya ingin meluapkan emosinya.
            Saat itu, Moni berpikir apakah akan melanjutkan pencarian Raka, atau pulang dan membiarkan kenangan indahnya bersama Raka terhapus. Ya… apa mungkin dia harus melupakan Raka? Tapi, hatinya bilang dia ingin mencari Raka sampai ketemu. Hati kecilnya berkata kalau Raka tidak akan melupakan janjinya.
            Moni berlari menuju halte bus dekat sekolahnya. Meskipun jarak untuk sampai ke halte bus dekat sekolahnya itu cukup jauh, tapi Moni sudah memutuskan akan mencari Raka. Dia terus berlari dan tidak berhenti. Di sana… juga ada kenangannya bersama Raka. Raka menghapus air matanya ketika dia menangis. Dan membuatnya sedikit lebih tenang, ketika dirinya berada di dekat Raka.
            Raka… di sini kan? Teriak Moni ketika sampai di halte bus yang dituju olehnya. Di sini juga ada kenangan. Tapi kenapa lo nggak ada di sini? Teriak Moni lagi. Tempat yang lo maksud itu, sebenarnya dimana?
            Moni menoleh ke sekolahnya yang terletak tak jauh dari halte bus itu. Dia berjalan menuju sekolahnya perlahan. Dengan nafas terengah-engah dan dengan kakinya yang sudah lelah.
            Di sini juga!! Teriak Moni dalam hati. Raka pernah memeluknya ketika Raka akan pergi ke Amerika. Di depan gerbang sekolah itulah terakhir kalinya dia melihat Raka. Di situlah juga, untuk terakhir kalinya Moni mendengar suara Raka. Dan terlontar dari mulut Raka kalau dia akan kembali tiga tahun lagi. Dan juga bilang kalau Raka berharap bisa bertemu dengan Moni di tempat waktu itu. Hingga sampai saat ini, Moni tidak bertemu dengan Raka.
            Moni melemparkan senyum ke Pak Sutomo yang saat itu sedang duduk di posnya. Pak Sutomo membalas senyuman Moni dengan ramah. Ya, meskipun Moni sudah lulus dua tahun yang lalu, tapi Pak Sutomo masih ingat dengan Moni. Apalagi, Pak Sutomo juga sebenarnya sempat melihat adegan pelukan Raka dan Moni tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu, murid yang paling diingat oleh Pak Sutomo ya Moni dan Raka.
            Moni memandangi sekolah lamanya di balik pintu gerbang yang terkunci. Kemudian, dia memandang Pak Sutomo seolah dengan pandangannya itu, Pak Sutomo mengerti kalau dia ingin memohon agar Pak Sutomo membukakan pintu gerbang untuknya. Pak Sutomo mengerti dan membukakan pintu gerbang untuknya dan mempersilakan masuk.
            “Mau melihat-lihat ya?” tanya Pak Sutomo setelah Moni masuk.
            Moni tidak menjawab, tapi hanya melempar senyumannya kepada Pak Sutomo. Dia lalu berjalan menuju kelas-kelas yang sedikit berubah. Lalu, dia menuju gedung music, tempat dimana dia pernah bermain piano. Dan, tempat itu juga mempunyai kenangan indah bersama Raka.
            Moni mempercepat langkah kakinya untuk sampai di gedung music. Dan untungnya gedung music itu tidak terkunci dan tidak ada yang sedang menggunakan gedung music tersebut. Memang semua yang tersusun di ruangan music itu sudah tidak lagi seperti tiga tahun yang lalu. Tapi, Moni masih ingat persis bagaimana semua kenangan indah itu terjadi di ruangan music itu.
            Dulu dia pernah melihat Raka bermain gitar memainkan lagu kesukaannya. Dia juga pernah bermain piano bersama Raka, memainkan lagu kesukaannya juga yang hanya diaransemen ulang. Lagu Canon in D major soundtrack film kesukaannya, Canon in Love. Ya… di sanalah semua kenangan indah juga terjadi diantara Moni dan Raka.
            Moni hendak meninggalkan gedung music bersama kenangannya. Tapi kemudian, dia ingat sesuatu. Ingat akan sebuah film yang sangat disukainya. Canon in Love! Apa yang Raka maksud itu…
            Moni berlari meninggalkan sekolah secepat mungkin. Yang ada dibenaknya hanyalah agar dia bisa sampai ke tempat itu lebih cepat.  Bahkan, dia sampai menghiraukan siapa saja yang dilewati olehnya. Termasuk Pak Sutomo yang menegurnya dan juga bingung melihat Moni yang berlari sangat cepat.
            Mata Moni seolah sudah tidak lagi melihat orang-orang disekitarnya. Yang ingin dilihat olehnya adalah tempat yang mungkin dimaksud oleh Raka. Setelah keluar gerbang sekolah, Moni langsung menaiki bus yang saat itu tengah berhenti. Dan dengan sangat tidak sabar, Moni duduk di bangku dekat pintu.
            Sampai!! Kata itulah yang melintas dipikiran Moni kala busnya sampai di depan ‘BoomBiim Videos’. Dengan tidak sabar, Moni langsung turun dan langsung  meraih gagang pintu toko kaset tersebut.
            Dengan jantung yang berdegub kencang dan dengan pengharapan agar Raka benar-benar bisa ditemuinya di tempat itu. Perlahan-lahan, Moni membuka pintu toko kaset itu dan memasukinya dengan perlahan-lahan juga. Jantungnya kini berdetak lebih kencang lagi dari sebelumnya, dan bahkan kakinya pun ikut gemetar.
            Moni melihat sekeliling ruangan toko kaset tersebut. Tidak ada sosok Raka di sana. Tapi, entah mengapa ada yang mendorongnya untuk ke tempat itu. Dan… ada yang mendorongnya untuk datang ke rak kaset film-film korea. Apa mungkin Raka ada di tempat itu?
            Tidak ada Raka di sana!! Teriak Moni. Kalau gitu, dimana Raka? Teriaknya lagi. Moni berdiri persis di tempat dia berdiri empat tahun lalu. Dia melihat sebuah film yang masih tersisa satu film di sana. Film yang kelihatannya bagus dan… mungkin kisahnya hampir mirip dengan Canon in Love. Tapi… saat tangannya hendak meraih kaset itu, sudah ada tangan orang lain yang lebih dulu meraihnya.
            Moni kaget setengah mati. Kejadian itu, dulu pernah terjadi padanya. Dan sekarang terulang lagi. Apa mungkin…
            Moni menoleh ke arah seorang cowok yang berdiri di samping Moni. Hatinya sempat merasa lega ketika dia tau bahwa sosok yang berdiri di sampingnya itu seorang cowok. Tapi… perasaannya lagi-lagi menjadi sedih, karena cowok itu bukan Raka. Melainkan orang lain.
BAB 18

            Sempat terjadi adu pandang antara Moni dan cowok yang merebut kaset yang ingin dilihat oleh Moni. Tapi… sesaat kemudian Moni sadar dan dia ingin segera pergi. Sekarang bukan saatnya untuk mengulang kejadian itu. Apalagi mengulangnya dengan orang lain. Kalau saat itu yang tengah berdiri adalah Raka. Mungkin Moni akan bersedia mengulang semua kejadian yang pernah terjadi di toko kaset itu.
            Tapi, saat Moni ingin pergi meninggalkan cowok itu, cowok itu malah menahannya. “Tunggu…” katanya sambil meraih lengan Moni.
            Moni menoleh, lalu menghempaskan tangan cowok itu. Mungkin ada yang ingin dikatakan oleh cowok itu. Moni menunggu cowok itu mengatakan hal yang ingin dikatakan olehnya.
            “Bisa… kita ngobrol sebentar. Ada yang mau gue sampein sama lo…” katanya dengan ragu-ragu.
            Moni menyalah artikan maksud cowok itu. Dia pikir, cowok itu iseng dan hanya ingin mengajaknya berkenalan. Padahal, Moni salah besar. Moni tidak menghiraukan cowok itu dan malah pergi meninggalkannya.
            “Ini berhubungan sama Raka…” teriak cowok itu nggak sadar. Dan teriakan cowok itu membuat orang lain yang tengah melihat-lihat kaset kaget dan melihat sinis ke arahnya.
            Moni membalikkan tubuhnya. Apa? Berhubungan dengan Raka? Memangnya ada apa dengan Raka? Tanyanya dalam hati.
            Seolah membaca kebingungan di raut wajah Moni, cowok itu pun langsung menjelaskan siapa dia sebenarnya. “Lo Moni kan? Monita Virnia…” tanyanya memastikan. Dan setelah mendapat persetujuan dari Moni kalau memang benar itu namanya, cowok itu pun melanjutkan. “Gue Nikson… gue temennya Raka di SMA Teladan. Ya… gue temen deket Raka dari SMP…” katanya menjelaskan.
            “Terus… apa yang mau lo omongin ke gue?” tanya Moni penasaran. “Raka… baik-baik aja kan?”
            Nikson terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan Moni. Tapi malah mengalihkannya kea rah lain. “Gimana kalo, kita ngobrol di tempat lain…”
            Moni setuju walaupun dia sudah tidak sabar lagi untuk segera mendengar cerita tentang Rakanya. Dan dia berharap di dalam hatinya, semoga aja nggak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan olehnya.
            “Enaknya… kita ngobrol dimana?” tanya Nikson.
            “Terserah lo aja…” jawab Moni singkat.
***
            Nikson memutuskan untuk membawa Moni ke Paul Coffee Shop. Di sana salah satu tempat favorite Nikson dan teman-temannya, termasuk Raka. Dulu, dia sering sekali datang ke tempat itu untuk sekedar minum kopi bersama beberapa teman dekatnya.
            Saat itu, Moni dan Nikson duduk berhadapan. Nikson bingung akan memulai ceritanya dari mana. “Dulu… gue sering ke sini sama Raka…” katanya memulai pembicaraan.
            Moni hanya terdiam.
            “Tapi… tiba-tiba Raka bilang mau berhenti minum kopi..” lanjut Nikson. “Anak itu aneh. Baru minum satu cangkir kopi aja, udah mengeluh nggak bisa tidur… Jadi, dia bilang ingin berhenti minum kopi, supaya tidak terserang insomnia setiap malam…” kenang Nikson.
            Moni tertegun. Dia sedikit tertarik dengan cerita tentang masa lalu Raka. Tapi… yang dibutuhkan olehnya saat itu adalah informasi tentang keberadaan Raka. Moni meraih secangkir kopi yang dipesannya, saat pelayan datang membawakan pesanan untuknya dan Nikson. Lalu… “Jadi… dimana Raka?” tanyanya singkat.
            Nikson terlihat bingung. Dia mengerti, kalau cewek itu memang sudah nggak sabar untuk segera tau tentang keberadaan Raka. Dia pun mengambil sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah amplop putih. Lalu, Nikson memberikannya perlahan kepada Moni. Dengan melontarkan kalimat yang membuat Moni sedikit kaget. “Mon… sebenernya, gue juga nggak tau keadaan Raka gimana…”
            Moni tercengang mendengar penjelasan Nikson. Apa maksudnya? Lalu, gimana bisa Nikson menemuinya? “Apa maksdunya??” tanya Moni penasaran.
            “Waktu itu…” Nikson memulai ceritanya yang panjang.
***
            “Raka…” Nikson terkejut dengan kedatangan Raka pagi-pagi ke rumahnya. Saat itu masih pukul setengah delapan pagi. Jarang sekali Raka datang ke rumahnya sepagi itu. pasti ada hal penting yang ingin disampaikan Raka.
            Benar saja. Raka tiba-tiba memeluk sahabatnya itu. Nikson menyambutnya dan langsung mengerti maksud dari pelukan tersebut. “Jadi… lo mau pamitan?” tanya Nikson.
            “Iya…” Raka menganggukkan kepalanya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Dan… “Tapi… gue mau titip sesuatu sama lo…”
            Sebuah amplop putih yang dikeluarkan Raka menyita perhatian Nikson. “Apa ini?” tanya Nikson setelah amplop itu sampai di tangannya.
            “Tiga tahun lagi… gue bakal balik ke sini. Tapi, gue nggak tau pasti…” kata Raka sambil menelan ludah. “Kalau terjadi apa-apa sama gue… ya mungkin aja tiga tahun lagi gue nggak kembali, tolong lo kasih amplop ini sama seorang cewek. Lo masih inget kan sama cewek yang pernah gue certain waktu itu?” tanya Raka serius.
            “Maksud lo, Moni?” tanya Nikson yakin. Dan saat dia melihat Raka menganggukkan kepalanya, dia melanjutkan kalimatnya. “Raka… lo jangan becanda. Kenapa lo ngomong kayak gini… Lo pasti balik kan? lo nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Nikson cemas.
            Raka menggelengkan kepalanya. “Nik… lo kan sahabat gue dari SMP. Gue harap, lo bisa ngerti. Dan gue mohon satu hal sama lo… tolong jangan lo buka amplop itu. Dan, gue juga mohon sama lo, tolong lo temuin Moni di tempat yang pernah gue certain sama lo…”
            “Raka…” desis Nikson.
            Raka tesenyum menatap Nikson. Tapi Nikson tau, Raka menyembunyikan kesedihannya. “Nik… tolong sampein permintaan maaf gue ke dia. Dan tolong juga lo bilang ke dia, kalo gue sayang banget sama dia. Lo bilang juga ke dia, kalo gue nggak pernah lupa sama dia sedikitpun…”
            Nikson merasakan kesedihan di dalam dirinya. Dia khawatir dengan Raka. Sampai saat itu, Nikson pun nggak pernah tau tujuan Raka pergi ke Amerika. Yang dia tau hanyalah, Raka yang tiba-tiba ingin menikmati hidupnya dan mencari suasana baru. Tapi kenapa harus ke Amerika? Bukannya di sini ada Moni yang berhasil membuat hidupnya lebih indah dari sebelumnya? “Iya… nanti gue sampein…”
            Raka pergi dari rumah Nikson. Dia menatap sahabatnya lekat. Dia sangat percaya kepada Nikson. Raka melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan Nikson. Nikson menatap Raka dengan penuh kepedihan. Dia takut sesuatu terjadi kepada sahabatnya. Dan saat itu, Nikson melihat senyum Raka untuk terakhir kalinya. Raka menoleh ke arahnya dan mengatakan sesuatu. “Nik… jaga diri lo baik-baik. Oh iya… kalo tiga tahun lagi gue nggak balik, tolong jagain Moni ya…”
***
            Moni meneteskan air matanya. Dia nggak menyangka kalau inilah yang akan didapat olehnya, setelah tiga tahun lamanya dia menunggu Raka. “Apa artinya, terjadi sesuatu dengan Raka?” tanya Moni sambil mengusap air matanya.
            Nikson tertunduk. Dia nggak kuasa melihat kesedihan Moni. Bukan maksudnya untuk membuat Moni sedih. Tapi… itulah yang diinginkan Raka. Menyampaikan semua pesannya. Tanpa sedikitpun mengubah kalimat Raka. “Gue… gue juga nggak tau Mon…” kata Nikson dengan hati-hati. “Gue… gue nggak tau dan nggak pernah tau. Raka… nggak pernah kasih tau ke gue alasan dia pergi ke Amerika. Dia Cuma bilang, kalau dia mau pindah. Waktu gue tanya alasannya, dia nggak jawab Mon… gue nggak pernah paksa dia untuk buka rahasia yang nggak pernah mau dia ungkapin ke gue. Karena, dia pun selalu ngertiin gue… dan…”
           Nikson menghentikan kalimatnya sejenak. Sementara itu, Moni menunggu lanjutan kalimat Nikson. “Dan gue, nggak pernah buka amplop itu. Mungkin, jawabannya ada di dalam amplop itu Mon… mungkin isinya surat. Dan mungkin…” belum selesai kalimat Nikson, Moni sudah membuka amplop putih itu lebih dulu. Dan setelah amplop itu terbuka… amplop itu hanya berisi beberapa lembar foto.
            Moni memandangi foto itu satu persatu. Foto itu, adalah foto dirinya dan Raka di Taman Pelangi. Nikson ikut melihat-lihat foto tersebut. Kenapa isinya hanya foto? Tanya Moni dalam hati. Tapi… Nikson melihat ada satu lembar foto yang bagian belakangnya di tulis dengan pena. Nikson mengambil foto itu dan menunjukkannya kepada Moni.
            “Mon…” Nikson berpindah tempat duduk. Yang tadinya Nikson duduk di depan Moni, kini dia berpindah duduk di sebelah Moni dan bersama-sama dengan Moni membaca pesan yang tertulis di balik foto tersebut.
Mon… Lo inget foto-foto ini kan? Dari sekian banyaknya foto kita berdua, gue suka banget sama foto yang ini. Gue juga nggak tau kenapa? Mungkin, karena fotonya natural dan terasa hidup.
Mon, maafin gue ya karena gue nggak balik. Pasti, Nikson udah sampein amplop ini ke lo kan? Jangan lupa bilang makasih ya sama sahabat gue. Nikson, sahabat gue yang paling ngertiin gue…
Mon… pasti Nikson udah sampein semua pesen gue kan? Maafin gue karena gue nggak bilang langsung ke lo Mon… Gue… sayang sama lo… selamanya.
Raka Putra

            Moni dan Nikson saling berpandangan. Ada sebuah situs alamat web di pesan itu. Moni baru tau kalau Raka suka nge-blog dan menjadi salah satu member dari situs blog terkenal www.bloglover.com. Begitupun dengan Nikson yang juga bingung dengan alamat blog itu. Mungkin Raka memang sering berselancar di dunia maya, tapi kalau untuk urusan nge-blog, Nikson nggak pernah mengira kalau Raka akan melakukannya.
            Moni membereskan semua foto yang berserakan di meja dan memasukkannya kembali ke amplop putih tadi. Hanya ada satu foto yang tidak dimasukkannya kembali ke amplop putih itu. Foto yang bertuliskan pesan di belakangnya. Setelah semuanya rapi, Moni bergegas pergi dari Paul Coffee Shop. Nikson heran dengan kepergian Moni.
            “Lo mau kemana?” tanya Nikson penasaran.
            Moni tidak menjawab dan malah berlari meninggalkan Nikson. Nikson nggak mau ketinggalan jejak Moni. Dia pun mengejar cewek itu dan mengikuti langkah Moni yang lumayan jauh darinya.

0 komentar: