THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 18 Mei 2011

Canon in Love Bab 15 & 16

BAB 15

Moni berlari tanpa arah. Pikirannya melayang jauh. Dia nggak sadar lagi kalau dirinya tengah berlari menjauh dari rumahnya. Dan entah sudah seberapa jauh dirinya berlari tanpa arah. Tiba-tiba Moni merasakan kakinya mulai lemah. Dia menghentikan aksi lari tanpa arahnya. Sambil mengusap air mata dan peluh keringat yang mengalir di keningnya, Moni pun kembali melanjutkan aksi larinya.
Moni nggak sadar kalau dirinya tengah berlari di pusat keramaian. Dia malah terus berlari tanpa arah. Dan saat itu, seolah-olah langit berduka dan ikut berempati akan kesedihannya. Siang itu, hujan turun dengan derasnya. Seolah merasakan kepedihan hati Moni.
Dia kehilangan ayahnya. Bahkan juga akan kehilangan Raka. Raka akan pergi. Entah mengapa baginya dunia seolah-olah sangat tak bersahabat baginya. Dia mendengar berita yang membuat hatinya hancur dalam waktu yang bersamaan.
Tiba-tiba langkah Moni menabrak sesorang di depannya. Itu disebabkan karena dirinya sudah tak lagi mengontrol emosinya. Dia membiarkan tubuhnya berlari tanpa arah hingga menabrak tubuh jangkung di depannya. Seseorang yang juga basah kuyub karena bermandikan hujan.
“Moni?” seorang cowok yang menabrak Moni itu heran dengan Moni yang berlari sampai menabraknya. Apalagi, Moni masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Raka?” Moni juga sama herannya dengan Raka. Dia melihat cowok itu juga masih mengenakan seragam sekolahnya. Kenapa bisa mereka berdua bertemu di tempat itu.
Raka terlihat khawatir dengan keadaan Moni. Dia pun memegang pundak Moni dan menatap cewek itu lekat-lekat. “Lo kenapa? Dan, lo ngapain di sini?”
Moni tidak menjawab pertanyaan Raka. Dia sudah nggak bisa lagi menahan diri untuk terlihat kuat. Lagi-lagi, Moni membiarkan dirinya menangis di hadapan Raka. Padahal, cowok itu sudah nggak lagi perhatian dengannya. Cowok itu sudah berubah semenjak masuk sekolah. Entah apa alasannya.
Raka membiarkan Moni menangis. Dia meraih lengan Moni dan mengajaknya berteduh di halte bus yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Raka membiarkan Moni menangis agar cewek itu lebih tenang. Dia nggak mau terlalu banyak bertanya sebelum Moni sedikit lebih tenang, karena itu pasti akan membebani Moni.
Setelah Moni lebih tenang, barulah Raka membuka mulutnya. Dia mencoba bertanya kepada Moni tentang apa yang telah terjadi. Dengan sangat hati-hati. “Mon… apa ada masalah?”
Moni terdiam. Dia masih belum bisa mengeluarkan kata-kata. Tapi… entah mengapa, dia sedikit tenang setelah Raka ada di sampingnya. Mungkin memang Raka orang yang bisa membuatnya lebih tenang. Mungkin… batinnya.
“Kalo memang rahasia… nggak apa-apa. Tapi, lo boleh kok kalo memang mau nangis di depan gue… gue siap liat lo nangis…” kata Raka yang kini mulai kembali seperti dulu lagi.
Moni mencibir. Dia mulai lagi… batinnya. Tapi ada perasaan senang di dalam hati Moni karena Raka kembali seperti dulu. Hal-hal yang dibenci Moni dari Raka, seperti mengganggunya sampai bercanda tentang hal yang nggak penting, sudah kembali. “Nyebelin!!”
Raka tersenyum geli. Ternyata dia memang nggak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia nggak tahan kalau harus terus-menerus bersikap jutek dengan cewek itu. “Maaf…” katanya lembut. Raka mengusap air mata yang tersisa di pipi Moni. Dan melanjutkan dengan mengusap kepala Moni. “Lo kenapa sih?”
Moni terdiam sejenak. Dia bingung apakah akan menceritakan hal itu kepada Raka atau nggak. Tapi, dia memang butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Dan, mungkin orang yang bisa mengerti adalah Raka. Jadi… nggak ada salahnya untuk menceritakannya kepada Raka kan? “Bunda sama Ayah gue bercerai…”
Raka terkejut mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Moni. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan Moni saat itu. Dan dia mengerti sekali, kenapa Moni sampai begitu sedihnya. Meskipun dia nggak mengalami hal yang sama dengan Moni.
Moni menceritakan semua yang ingin diceritakan olehnya. Mulai dari ketika dirinya pulang sekolah dan mendengar percakapan antara Bunda dan Farant. Dan lagi-lagi, karena dia membagi cerita itu dengan Raka, dia pun kembali merasakan kepahitan.
“Gue ngerti Mon…” kata Raka setelah Moni menyelesaikan ceritanya. “Tapi… lo harus ingat satu hal. Suatu saat, kita pasti akan kehilangan orang yang kita sayangin.. Dan, masalah Bunda dan Ayah lo bercerai, mungkin itu yang terbaik Mon..”
Moni tau itu. Mungkin memang perceraian kedua orangtuanya memang jalan yang terbaik. Tapi, dia bingung dengan kalimat Raka sebelumnya. Raka bilang, suatu saat kita pasti akan kehilangan orang yang kita sayangin. Apa maksudnya? “Kenapa lo bilang gitu? Gue nggak mau kehilangan orang yang gue sayangin…”
Raka terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan Moni. Tapi malah melemparkan senyum tipis ke Moni. Lalu, pandangannya tertuju pada satu arah. Pelangi!! Dia menunjukkan pelangi yang terlukis indah di atas langit kepada Moni. “Liat…”
Moni menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Raka. Dia tercengang. Meskipun pelangi itu terlihat begitu jauh, tapi terlihat sangat indah. “Sayang banget nggak begitu keliatan…” teriak Moni girang.
“Ayo ikut gue…” Raka menggandeng tangan Moni.
“Kemana?” tanya Moni bingung.
Raka tidak menjawab. Dia menggenggam tangan Moni dan membawanya menuju motor miliknya yang diparkir tak jauh. Setelah sampai di depan motornya, Raka pun memberitahu kemana mereka akan pergi. “Kita cari tempat yang paling dekat dengan pelangi itu…” katanya sambil memakai helmnya.
***
Setelah mengendarai motor sambil mengikuti arah pelangi, Raka dan Moni sampai di sebuah taman. Di taman itulah pelangi yang mereka kejar terlihat sangat jelas dan sangat dekat. Moni tak habis-habisnya berdecak kagum melihat keindahan pelangi tersebut. Sampai Moni terlupakan akan kesedihannya sendiri.
Raka tersenyum menatap Moni. Dia senang karena Moni bisa kembali tersenyum. Tapi, tidak dengan dirinya. Raka tidak sebahagia Moni. Meskipun dia mencoba untuk tersenyum, tapi dia merasakan kepedihan di dalam hatinya.
Moni menarik Raka dan membawanya untuk duduk di samping sebuah pohon yang rindang. Mereka berdua begitu menikmati keindahan pelangi tersebut. Tapi, tiba-tiba Moni teringat sesuatu. “Raka… lo…” Moni ragu untuk bertanya kepada Raka. “Lo… lo beneran mau pindah?”
Raka tersentak. Dia nggak menyangka kalau Moni menanyakan hal itu. Hal yang sedang mengganggu pikirannya. “Bisa iya… bisa nggak…”
“Gue serius…” kata Moni kesal. Tapi… tiba-tiba dia ingat dengan perkataan Raka di halte bus tadi. “Apa ini yang lo maksud? Kita pasti akan kehilangan orang yang kita sayang??” kata Moni tanpa sadar.
Raka nyaris tertawa mendengar kalimat Moni. “Berarti lo sayang sama gue donk? Gue juga…” katanya.
Wajah Moni memerah. Dia baru sadar kalau kalimatnya tadi salah besar. Dengan dirinya mengatakan hal itu kepada Raka, itu artinya sama saja dia menyatakan cinta kepada Raka. Aduhhh!! Teriaknya. “Ihh apaan sih… ya udah lo pergi aja sana!!” teriak Moni.
Raka berpikir sejenak. Sesaat kemudian, dia menatap Moni lekat. “Semua orang… pasti akan mati kan??”
Moni tersentak. Iyalah!! Batinnya. Ohh… dia mengerti maksud Raka. Jadi itu maksudnya. Raka ingin membuka pikiran Moni. Sekeras apapun kita ingin mempertahankan orang yang kita sayang, suatu saat kita pasti akan kehilangan orang tersebut. Begitupun dengan orang yang kita sayang. Jadi, kalau Moni kehilangan ayahnya… itu masih lebih baik karena ayahnya masih bisa terlihat. “Iya…. Gue ngerti maksud lo…” katanya.
Raka tersenyum tipis. Lalu, senyum tipisnya berubah menjadi tawaan geli. “Jadi… kita berdua jadian donk?” tanyanya geli.
Wajah Moni memerah. Dia malu sekali. Tapi, saat itu dia melihat raut wajah Raka berubah jadi lebih serius. “Apaan sih…” katanya sambil memukul pundak Raka.
“Bukannya tadi lo nembak gue??” kata Raka sambil bercanda lagi. Tapi sesaat kemudian berubah jadi lebih serius. “kalo gitu gue yang nembak deh… Mon gue…”
Moni memotong kalimat Raka. “Gimana kalo taman ini kita kasih nama Taman Pelangi?” katanya.
Raka tersenyum tipis. Dia nggak protes karena kalimatnya diputus. Dia malah sadar kalau dirinya nggak boleh melakukan itu. “Iya… Taman Pelangi… boleh juga…”
Moni tersenyum. Tiba-tiba, dia sadar harusnya dia biarkan saja Raka meneruskan kalimatnya. Tapi kenapa malah memotongnya. Uhh… bodoh!! “Tadi… lo mau ngomong apa?” Moni memberanikan diri untuk menanyakan hal itu. Ya… dia sudah lelah berpura-pura terus.
Raka mengeryitkan keningnya. “Yang mana? Gue lupa…” katanya sambil berdiri dan berjalan menjauh dari Moni.










BAB 16

Pagi itu, Moni datang ke sekolah agak terlambat. Pasalnya, tadi malam Moni sempat tidak bisa tidur memikirkan Bunda dan Ayahnya. Tapi, Moni sudah memutuskan untuk tidak memusuhi Bundanya dalam waktu yang lama. Moni tau, apa yang dilakukan Bunda semata-mata hanya untuk membuat Moni tidak bersedih. Meskipun masih berat, tapi Moni sudah mau bicara dengan Bundanya.
Dan, selain memikirkan Bunda dan Ayahnya, rupanya ada hal lain yang membuat Moni nggak bisa tidur. Dia juga memikirkan Raka beserta semua kata-kata yang keluar dari bibir Raka. Semalaman, dia dibuat bingung oleh perasaannya yang bercampur. Sampai dibuat bingung dengan berita yang sampai ke telinganya. Apakah Raka akan benar-benar pindah ke Amerika atau nggak. Malah, Raka tidak memberikan jawaban pasti kepadanya ketika kemarin Moni bertanya akan hal itu. Dan itu, membuat Moni makin bingung dan sibuk memikirkannya semalam suntuk.
Dan ketika Moni sampai di kelasnya, ternyata hampir semua teman-teman sekelasnya sudah datang. Tapi… Raka nggak ada. Cowok itu belum datang! Batin Moni. Kecemasan Moni sedikit terjawab. Dia melihat Ana, Nunik, Ria, dan cewek-cewek sekelas lainnya terlihat sedih dan sedikit menangis. Apa maksudnya?
Moni menjatuhkan tasnya di meja dan menguping pembicaraan cewek-cewek sekelasnya yang tengah berkumpul di tempat duduk Ana. Tiba-tiba Naima datang dan langsung menyambar kelompok cewek-cewek itu.
“Kenapa? Kenapa?” tanya Naima heran.
“Raka pergi…” jawab Ana.
Moni tersentak. Dia membisu dan tubuhnya terasa kaku. Raka pergi? Kenapa secepat itu? Batin Moni.
“Apa? Jadi Raka udah pergi ke Amerika?” tanya Naima yang juga ikut sedih.
“Tadi Raka sempet pamitan sama kita… tapi dia buru-buru, jadi nggak bisa nunggu semua teman-teman kita dateng. Terus, dia pergi ke kantor guru untuk pamitan. Sekarang nggak tau Raka udah pergi atau belum…” cerita Nunik.
Moni nggak bisa lagi menahan diri. Dia nggak bisa membiarkan Raka pergi. Dia tau dia nggak bisa terus-terusan menyembunyikan perasaannya. Ya… dia menyukai Raka. Itulah yang sebenarnya terjadi. Jadi, dia harus berbuat sesuatu.
“Raka nggak akan pergi!!” teriak Moni. Dia lalu berlari untuk mencari Raka. Semua teman-temannya yang ada di kelas itu terkejut dengan sikap Moni. Mereka mengerti dengan maksud Moni. Pasti cewek itu ingin mencegah kepergian Raka. Lalu, teman sekelas Moni – cewek ataupun cowok – mengikuti Moni dan akan berusaha membuat Raka tidak pergi ke Amerika.
Pencarian Moni dan teman-temannya di mulai dari ruangan guru. Tapi, rupanya Raka sudah pergi. Raka sudah tidak ada di ruang guru. Dan, guru-guru yang tengah menunggu jam masuk bilang kalau Raka sudah pergi. Pak Bono yang melihat anak-anak menyerbu ruang guru pun menyuruh semua anak untuk kembali ke kelas karena tinggal beberapa menit lagi akan masuk sekolah. Tapi, Moni dan anak-anak yang lainnya bukannya menuruti Pak Bono malah melanjutkan pencarian mereka.
Moni lalu berlari menuju gerbang sekolah diikuti teman-temannya yang setia mengekornya di belakang. Dan benar saja, di depan gerbang sekolah masih ada Raka di sana. Cowok itu mengamati sekolahnya dengan teliti, seolah dia nggak mau pergi dari sekolah itu.
Saat itu, Raka yang tengah mengamati sekolahnya dan mengabadikannya di dalam pikirannya pun menatap Moni yang tengah menghampirinya. Dia melihat Moni yang memperlambat langkahnya. Dan juga melihat teman-temannya yang sangat terlihat sedih.
“Moni…” desis Raka.
Moni terdiam. Dia nggak bisa melakukan apapun. Tadi, dia begitu semangatnya ingin menahan kepergian Raka. Tapi sekarang, kenapa dia malah membeku? Dia bingung harus berbuat apa. Dia juga masih mengikuti egonya untuk munafik. Harusnya itu nggak perlu. Dia harus melakukan sesuatu. Sementara, teman-teman yang lain hanya menatap Raka seolah dengan tatapan itu, Raka bisa mengerti agar tidak pergi ke Amerika.
“Lo… Lo… Lo nggak jadi kan pergi ke Amerika?” tanya Moni pada akhirnya dengan suara berat. “Bilang iya Ka… lo nggak jadi kan ke Amerika?” tanyanya sambil menahan air mata yang hampir menetes.
Raka menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Kalian… kenapa? Ini udah masuk kan?” tanyanya datar.
Semua anak tidak menjawab pertanyaan Raka. Mereka membisu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Mereka seolah mengerti dan akan membiarkan Moni saja yang melakukannya.
“Raka… lo nggak bakal pergi kan?” tanya Moni sekali lagi dengan air mata yang sudah menetes di pipinya.
Raka terdiam. Dia menatap Moni lekat. Dia nggak bisa melihat cewek yang disayanginya menangis. Tapi, dia juga nggak bisa memutuskan untuk tidak pergi ke Amerika. “Mon…” Raka menggenggam tangan Moni. “Maaf Mon… tapi… gue harus pergi…” katanya sambil menatap Moni.
“Kenapa Ka..?” tanya Moni sambil mengguncang-guncangkan pundak Raka. “Lo… kenapa harus pergi? Gue.. gue nggak mau lo pergi… Gue.. nggak mau keilangan lo…”
Raka semakin nggak tahan melihat Moni menangis. Dia benar-benar tidak bermaksud membuat cewek itu menangis. Tapi, lagi-lagi dia tidak bisa membatalkan kepergiannya ke Amerika. Dia harus pergi… sepahit apapun kenyataan yang akan diterima dirinya maupun Moni… tapi dia harus pergi.
“Mon… gue nggak mau ninggalin lo… tapi…” Raka menghapus air mata di pipi Moni. Dia bingung harus bagaimana agar membuat Moni mengerti dan berhenti menangis. “Gue harus pergi…”
Moni menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memegang tangan Raka yang menyentuh pipinya. “Kenapa harus sekarang… paling nggak sampe lulus Ka…” pinta Moni dengan sangat memohon.
Raka tidak lagi bisa membalas perkataan Moni. Dia malah memeluk cewek itu erat-erat dan membiarkan dirinya meneteskan air mata. Juga membiarkan semua teman-temannya menyaksikan hal itu. Bahkan, mungkin juga dengan Pak Gatot yang menunggu Raka dengan setianya di dalam mobil ikut menyaksikannya. Benar atau nggak tindakannya itu, Raka nggak peduli. Dia hanya ingin melepas kepedihannya. Hari itu… hari terkahir dia akan melihat Moni. Dia akan ke Amerika dan tidak lagi bertemu dengan cewek itu.
Raka melepaskan pelukannya dan kembali mengusap air mata yang mengalir di pipi Moni. saat itu juga dilihatnya dari arah belakang, Bu Yanti – guru yang hari itu mengajar kelas Moni –, bersama Pak Bono datang dan menyuruh semua anak masuk kelas. Tapi… semua teman sekelas Raka tidak mau masuk malah terus menunggu Raka.
Lalu… “Raka jangan pergi…” teriak Ana.
Semua anak berpandangan. Termasuk Moni yang juga ikut memandang Ana. Lalu dia beralih pandang kea rah Raka. Memohon dengan tatapannya agar cowok itu tidak pergi.
“Raka jangan pergi…” kata Nunik mengikuti teriakan Ana.
“Raka jangan pergi… Raka jangan pergi…” dan perlahan-lahan semua anak meneriakan kalimat itu.
Meski bingung dan sedikit kesal, Pak Bono dan Bu Yanti akhirnya membiarkan anak-anak melakukan itu. Karena, sebenarnya mereka berdua juga kehilangan Raka.
“Raka jangan pergi…” Moni pun juga mengikuti kalimat itu sambil tidak berhenti menangis.
Sementara itu, Raka tidak bisa berbuat apapun. Dia kaku dan membisu. Perlahan… Raka melepaskan genggamannya dari tangan Moni. Meski sempat tertahan, genggaman Raka pun terlepas dan Raka siap pergi. Pak Gatot sudah membukakan pintu mobil untuk Raka. Saat itulah Moni berteriak… “Raka!! Jangan pergiiiiiii…..”
“Mon… maaf…” hanya kata itu yang mampu terucapkan oleh Raka. Dan… “Gue… akan kembali tiga tahun lagi… gue harap… gue bisa liat lo di tempat waktu itu… dan, gue… akan menghubungi lo Mon…” kalimat itu mengakhiri segalanya. Mengakhiri perjuangan Moni dan teman-temannya untuk menahan Raka.
Moni berusaha mengejar mobil Raka yang hampir jauh darinya. Sambil berteriak, “Raka!!!” Tapi Nunik menahannya dan memeluk Moni. Nunik mengerti sekali kalau Moni terpukul. Untuk itu, Nunik membiarkan Moni memeluknya erat dan menangis sejadinya.
Hari itu, Raka pergi dan berjanji akan kembali tiga tahun lagi. Di tempat waktu itu… Dia membawa sejuta kenangan indahnya bersama Moni. Dan menyisakan kesedihan di hati Moni. Entah mengapa Moni sangat berat melepas Raka. Dia takut tidak bisa bertemu dengan Raka lagi. Takut sekali…

Canon in Love (Bab 13 & Bab 14)
Canon in Love (Bab 17 & Bab 18)

0 komentar: