BAB 5
Malam itu, akhirnya keinginan Moni untuk menonton film incarannya tercapai. Canon in Love. Yup… film yang membuatnya hampir menangis karena kehilangan satu keping DVD yang di ambil oleh cowok bernama Raka, kini ada di genggamannya. Dan… film itu kini benar-benar membuatnya menangis.
“Huhuhu…hiks…” entah sudah yang ke berapa kali Moni mengambil tisu untuk mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
Dari awal, film itu sudah sangat mengharukan. Dan di ending-nya pun juga sangat mengharukan. Benar-benar membuat Moni menangis dan menguras air matanya.
Tiba-tiba, Farant datang dan hampir tertawa puas melihat adiknya yang tengah menangis karena menonton sebuah film. Dasar cewek… nonton film aja nangis. Ledeknya dalam hati. “Hahaha… Dek!! Kok nonton film aja nangis sih… cengeng banget!!” candanya.
Moni menoleh ke arah kakaknya dengan jutek. “Ihh… Kak Farant nggak nonton sih… coba kakak nonton, pasti Kakak juga nangis kayak aku!!”
Farant menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak…” katanya kemudian. Lalu, tatapan Farant tertuju pada satu titik. Dia melihat sebuah kotak DVD dan membaca sebuah judul di kotak DVD tersebut dengan jelas. “Jadi? Ini film yang kamu cari sampe nangis itu Dek??” tanya Farant yakin sambil meraih kotak DVD yang terletak di samping TV dan memutar-mutar kotak DVD itu.
“Iyaa… kenapa?” tanya Moni.
“Kok bisa??” tanyanya heran. Karena dia tau betul kalau DVD itu udah sold out. Alias habis terjual. Nah… sekarang darimanakah adiknya itu bisa mendapatkan DVD itu??
“Ya orang itu….” kalimat Moni terputus. Dia baru sadar. tidak seharusnya dia mengatakan hal yang sebenarnya kepada Farrant. Kalau dia sampai gegabah melakukannya, maka kakaknya akan dengan puas menertawakannya. Dan tentunya, Farant akan meledekinya sepanjang malam. Ohh bukan… bukan sepanjang malam. Tapi sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Yup… dia hafal sekali sikap kakaknya yang sejak dulu memang jailnya luar biasa.
Sayangnya… Farant langsung mengerti dengan kalimat singkat yang terlontar secara spontan dari mulut Moni. Dengan puas… dia pun mulai tertawa geli. “Ahh… Kakak tau Dek!! Kamu ketemu sama cowok itu ya Dek?? Terus kamu kenalan sama dia dan minjem DVD-nya kan??” tanyanya sambil terus tertawa.
“Nggak ahh!!” kata Moni dengan wajah memerah.
“Udah… mungkin memang takdir…” kata Farant kemudian dengan wajah yang kini berubah menjadi lebih serius. “Atau…”
“Kebetulan!!” lanjut Moni yang telah memotong kalimat kakaknya yang belum selesai.
Farant cepet-cepat menggelengkan kepalanya. Bukan itu yang dimaksud olehnya. Tapi… Moni nggak mau mendengar. Yah… whatever you say lah Kak!! Batinnya.
“Ya udah terserah…” kata Moni sambil merampas kotak DVD dari tangan kakaknya dan memasukkan DVD yang baru saja dikeluarkan olehnya. Setelahnya… dia pergi meninggalkan kakaknya sendirian.
“Bukan kebetulan Dek…” katanya sambil melihat kepergian Moni dan mendengar kalimat terakhir Moni. “Terserah Kakak aja…”
“Tapi mungkin sebuah rencana…” katanya melanjutkan kalimatnya tanpa didengar oleh Moni.
***
Sejak dirinya baru saja datang ke sekolah, Moni belum juga melihat Raka. Tumben… Nggak biasanya Raka belum datang. He usually has the best defense, right? Biasanya Raka sengaja datang pagi-pagi untuk mempertahankan tempat duduk yang dimiliki. Tapi sekarang… Raka belum datang. Apa mungkin cowok itu nggak masuk? Tanya Moni dalam hati. Dia membuang jauh-jauh keingintahuannya tentang keberadaan Raka. Untuk apa dia tau dimana Raka sekarang. Cowok itu punya urusannya sendiri. So, biar saja dia mau masuk atau nggak.
Moni tersadar dari lamunannya seketika sebuah bundelan kertas mengenai kepalanya. Rupanya Rani yang melakukannya. Moni memperhatikan Rani yang mencoba memberikan isyarat kepadanya. Rupanya Rani menyadarkannya untuk segera pindah dari tempat duduknya dan kembali ke tempat asalnya dulu. Ya… sebelum Raka datang. Benar!! Selama ini, dia selalu ingin merebut kursinya kembali. Tapi tidak pernah berhasil karena Raka selalu datang lebih awal darinya. Dan sekarang… entah kenapa dia tidak ingin melakukannya. Mungkin… biar saja dulu bangku itu kosong. Mungkin Raka akan terlambat datang. Tidak biasanya!! Upss… tunggu dulu. Batinnya. Tiba-tiba Moni ingat sesuatu. Raka… dia pernah bilang cowok itu anak bandel. Tapi kenapa dia selalu datang lebih awal?? Mungkin memang dia yang salah menilai.
Moni menggelengkan kepalanya. Sementara Rani terkejut dengan tingkah temannya itu. Nggak seperti biasanya. Batinnya.
Tiba-tiba…
“Waduh… Raka belum datang ya??” tanya Chiko yang datang dari ambang pintu dengan Rudi yang juga anak klub futsal. “Wahh… padahal kan hari ini latihan terakhir kita bro…” katanya kepada Rudi.
“Iya sih… tapi kalo gue sih yakin Raka bisa kok walaupun nggak ikut latihan…” balas Rudi.
Rani bingung melihat Moni yang sepertinya tertarik dengan perbincangan kedua orang tersebut.
“Udah lo telepon atau sms bro??” tanya Rudi.
“Udah… nggak aktif!!” kata Chiko yang segera merapihkan tempat duduknya karena sang guru sudah datang.
Moni melihat-lihat ke ambang pintu. Mungkin saja hari ini memang Raka terlambat. Dan benar saja… Raka datang dengan nafas terengah-engah. Moni menyunggingkan senyumnya secara nggak sadar. Lalu setelah dia sadar, dia membuang jauh-jauh senyumnya.
Chiko dan Rudi jelas sangat senang dengan kehadiran Raka. Artinya latihan terkahir untuk pertandingan antar sekolah besok bisa terlaksana dengan baik. Ya… semoga!!
Setelah sampai di tempat duduknya, Raka langsung tersenyum ke arah cewek yang sejak dirinya datang nggak sedikitpun cewek itu mengalihkan pandangannya. Dan Raka, sadar sekali dengan itu semua. “Tenang aja… gue pernah bilang kan sama lo. Gue bakal masuk terus… biar lo nggak kesepian..” katanya GR.
Moni langsung mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Dia benci sekali kalimat yang baru keluar dari mulut Raka. Huh… so big headed!! Batinnya.
***
Moni bingung dengan Chiko yang tiba-tiba menarik tangannya dan membawanya ke basecame klub futsal. Entah apa yang akan dilakukan oleh Chiko. Padahal… perut Moni udah bukan keroncongan lagi. Tapi udah ngerock! Hmm… I’m starving right now… Batin Moni.
“Jadi… lo mesti ngumpulin supporter sebanyak-banyaknya Mon… Buat besok!” ujar Hadika si ketua futsal.
“Hah?? Nggak salah??” Moni membelalakkan kedua bola matanya tak percaya. Sejak kapan orang-orang itu berminat untuk menyuruhnya mengumpulkan supporter untuk pertandingan futsal antar sekolah yang diadakan oleh SMA Yadika besok. Karenanya, selama ini dia tidak sekalipun terlibat untuk menjadi supporter klub futsal di sekolahnya. Dan kemarin-kemarin ketika sejumlah teman-temannya mengajaknya untuk menjadi supporter, dia ogah menerima tawaran tersebut.
“Nggak…” jawab Ferdi yang juga anak futsal dengan santainya. “Pokoknya lo bertanggung jawab penuh untuk ngumpulin supporter Mon.. Kalo sampe besok kita nggak ada supporter, lo bakal berhadapan langsung sama Pak Derry…” Lanjut Ferdi yang coba menakut-nakuti Moni dengan sosok Pak Derry – guru olahraga – yang cukup galak.
Moni meringis. “Emangnya mau sumo apa?” gumamnya asal.
Semua anak-anak klub futsal yang saat itu sedang beristirahat di basecame tertawa geli mendengar pernyataan dari Moni. Termasuk Raka yang juga sejak tadi tersenyum-senyum geli melihat kelakuan Moni.
“Hahaha… terserah lo sih mau ngajak Pak Derry sumo atau gulat… yang penting lo seneng aja deh Mon!!” ujar Rudi geli.
Sempat terjadi penolakan-penolakan oleh Moni atas tawaran yang diberikan kepadanya. Namun pada akhirnya – tentunya karena dia takut berhadapan dengan Pak Derry – Moni menyerah dan memastikan kalau dia mau mengumpulkan anak-anak untuk dijadikan supporter di pertandingan besok. Yang artinya, hari ini dia akan sibuk mengajak anak-anak untuk menjadi supporter. Mulai dari mempersiapkan pernak-pernik yang akan digunakan untuk memeriahkan suasana di lapangan, sampai mengkoordinir semua anak yang bersedia menjadi supporter klub sekolahnya.
“Nah gitu donk!!” kata Ferdi dengan senyum mengembang sambil melirik ke arah Raka.
Moni membaca lirikan itu. Dan dia pun ikut melirik Raka yang kini tersenyum sok imut ke arahnya. Huh… Annoying!!
Dan siang itu juga, tentunya dengan dibantu oleh Rani, Moni berhasil mengumpulkan 150 orang supporter dari 1300 murid di SMA Bhakti Negara yang berasal dari semua kelas. Baik dari kelas satu maupun kelas tiga. Cukup melelahkan memang. Tapi mau bagaimana lagi. Ancaman dari anak-anak futsal membuatnya ngeri. Pak Derry bukan hanya galak, tapi juga kejam. Moni pernah diajar olahraga sewaktu kelas satu. Dan baginya, belajar dengan Pak Derry sama dengan hidup atau mati. Hidup, kalau Moni bisa belajar dengan baik. Dan Mati, kalau Moni salah berkali-kali.
Nggak hanya mengumpulkan supporter, tapi Moni juga mengajak teman-teman yang lainnya untuk membuat yel-yel untuk mendukung tim futsal dari sekolah mereka, membuat pernak-pernik, dan membincangkan tentang pakaian yang kompak untuk dikenakan besok.
BAB 6
Pagi itu, di halaman SMA Bhakti Negara dipenuhi dengan siswa-siswi yang mengenakan pakaian bewarna biru muda dan celana jins hitam. Selain itu, mereka juga membawa spanduk bertuliskan ‘Bhakti Negara Go Go… Bhakti Negara pasti bisaaa!!’. Dan pastinya… rame banget suara anak-anak yang siap mendukung tim futsal yang mewakili sekolah mereka.
Dan hari itu, Moni terlihat manis dengan balutan kaos berkerah bewarna biru dengan jins hitam yang melekat di tubuhnya yang mungil. Entah kenapa, yang tadinya dia sempat ogah menjadi supporter untuk tim sekolahnya, tapi hari itu dia jadi lebih bersemangat dan menikmati kegiatannya. Hmm… entahlah!!
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Pertandingan akan dimulai pukul 08.00. Dan semua peserta diharapkan hadir sebelum pukul delapan. Pak Derry memerintahkan Hadika untuk mengabsen dan mengecek segala perlengkapan yang harus mereka bawa.
Dan hadika mulai mengecek segala sesuatu yang harus dibawa ke SMA Yadika. Termasuk supporter yang kemarin menurut laporan Moni, supporter yang berhasil dikumpulkan olehnya sebanyak 150 orang. Kemudian, Hadika mulai mengabsen satu per satu anggota futsal yang siap bertanding.
Ferdi, Rudi, Chiko, Gerry, Arya, Nino telah hadir. Tapi ada yang kurang. Ya… Raka!! Raka belum datang. Padahal 15 menit lagi mereka akan berangkat. Hadika langsung panik ketika mendapati Raka yang belum juga datang. Begitupun dengan anggota futsal lainnya yang sama paniknya dengan Hadika. Tapi Chiko mencoba menenangkan Hadika dan teman-teman yang lainnya. Dia yakin sekali kalau Raka pasti datang. Hanya saja, mungkin Raka agak terlambat datang.
Hadika mencoba mengkondisikan supporter yang juga ikutan panik karena Raka yang belum datang. Mungkin harapan mereka ada pada Raka yang terkenal jago bermain futsal. Selama tiga tahun ini, klub futsal SMA Bhakti Negara belum pernah meraih gelar juara. Mereka hanya berhasil bertandang ke babak semifinal. Penah satu kali mereka masuk ke babak final, dan itupun kalah. Dan Raka mungkin menjadi Rising Star di SMA Bhakti Negara yang sebelumnya cowok itu berlaga membawa nama sekolah lamanya, yaitu SMA Teladan. Dan… SMA Teladan merupakan SMA yang sudah sering menyandang gelar juara. So, mungkin saja Raka bisa membawa SMA Bhakti Negara menjadi juara untuk yang pertama kalinya setelah tiga tahun berturut-turut belum menyandang gelar juara.
Sepuluh menit telah berlalu begitu saja. Orang yang ditunggu-tunggu kehadirannya belum juga datang. Kini semua orang yang tengah menunggu di lapangan futsal SMA Bhakti Negara mulai panik. Pak Derry sudah memutuskan untuk tetap pergi ke tempat pertandingan pukul 07.15. Sejak tadi, Chiko sudah berusaha menghubungi Raka. Tapi ponsel Raka tidak aktif. Entah apa yang telah terjadi dengan cowok itu.
Moni ikut panik. Dia juga nggak tau kenapa. Yang pasti dia berharap Raka bisa datang. Tapi sesaat kemudian Moni lebih panik lagi. Pak Derry menyuruh semua anak untuk naik ke mobil dan segera berangkat. Walaupun Moni tau Pak Derry berharap Raka akan datang. Pak Derry lalu menghampiri Pak Sutomo, si satpam sekolah Moni, dan meminta Pak Sutomo untuk mengatakan kepada Raka kalau mereka berangkat duluan dan memintanya untuk menyusul.
***
Pertandingan pertama akan segera dimulai. Pertandingan antara SMA 17 melawan SMA Harapan. Terbaca oleh Rani raut wajah cemas di wajah Moni. Rani bisa menebak kecemasan itu ditujukan untuk siapa. Pasti untuk Raka yang belum juga datang.
Ya… memang sebenarnya itulah yang mengganggu pikiran Moni. Sejak tadi, sebenarnya cewek itu ingin sekali membiarkan saja tentang Raka yang tidak datang. Toh… Raka bukan segalanya. Dia yakin sekolahnya bisa bertanding walaupun nggak ada Raka. Kemarin-kemarin sebelum Raka datang ke sekolahnya, tim dari sekolahnya tetap bisa bertanding kan? Ya..memang sih belum menang.
Tapi, semakin Moni ingin membuang jauh-jauh perasaan cemasnya yang terselip untuk Raka, semakin Raka mengganggu pikirannya. Ada yang ingin dilakukan olehnya. Tapi dia ragu dan malu. Mungkin dia bisa membantu klub dari sekolahnya untuk mendatangkan Raka ke tempat pertandingan.
“Kemana ya dia??” bisik Rani.
“Ihh… biarin aja. Mana gue tau…” jawab Moni jutek.
Rani tersenyum geli. “Emang gue nanyain siapa?” tanya Rani mematikan Moni yang kini wajahnya mulai memerah. “Hahaha ketawan ya lo lagi mikirin Raka kan…” kata Rani sambil menyenggol lengan Moni.
Moni sewot. Dia tidak membalas lagi perkataan Rani. Lalu tatapannya menangkap percakapan Chiko dan Pak Derry. Chiko terlihat ingin sekali melakukan sesuatu. Mungkin dia ingin menjemput Raka di rumahnya. Tapi Pak Derry melarangnya. Chiko termasuk pemain andalan juga di sekolahnya. Kalau Chiko pergi untuk menyusul Raka yang belum tentu bisa datang, maka habislah sudah. Stamina Chiko tentunya akan berkurang. Itulah yang dipertimbangkan Pak Derry.
Setelah gagal membujuk Pak Derry untuk menyusul Raka, Chiko pun kembali duduk di bangkunya dengan lemas. Saat itu, Moni ingin sekali bertindak. Tapi… bagaimana dengan gengsinya. Huh… dia takut sekali semua orang meledeknya. Tapi… dia harus melakukannya.
Moni bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Chiko dan disambut keterkejutan dari Rani yang heran melihat temannya itu. Dan setelah sampai di hadapan Chiko, Moni langsung mengutarakan keinginan hatinya.
“Hah?? Lo yakin??” tanya Chiko heran.
Moni mengangguk cepat.
“Waduh… gue nggak tega ngeliat lo nyusul Raka…” ujar Chiko tak percaya.
“Gue tinggal di Jakarta bukan baru kemaren… nggak usah khawatir. Ini juga demi tim sekolah kita…” balas Moni.
Chiko berpikir sejenak. Lalu dia mendengarkan perkataan terakhir yang terlontar dari mulut Moni. “Kalau gue yang pergi nggak akan berpengaruh apa-apa kan??”
Setelah mempertimbangkan perkataan Moni, Chiko akhirnya memberitahu alamat rumah Raka kepada Moni. Moni pun langsung pergi meninggalkan SMA Yadika. Rani sempat mengejar Moni yang siap pergi untuk menyusul Raka. Tapi Moni meminta Rani untuk kembali dan tidak perlu ikut menyusul Raka.
***
Moni menatap sekeliling perumahan elit yang baru saja dimasukinya. Rumah-rumah yang sangat megah bergaya eropa yang sangat mewah. Moni tak kuasa mengagumi perumahan yang indah tersebut. Sampai-sampai Moni diam sesaat untuk menikmati kekagumannya.
Sesaat kemudian Moni tersadar, kala seorang satpam perumahan tersebut berdehem di dampingnya. Dengan ramah, satpam itu pun menawarkan bantuan kepada Moni. “Ada yang bisa dibantu??”
Moni gelagapan. Dia lalu membaca ulang kertas kecil yang tadi sempat diberikan oleh Chiko. Sebuah alamat rumah Raka. Moni lalu meminta tolong kepada satpam tersebut untuk diantar ke tempat tujuan. Dengan senang hati, satpam itupun menunjukkan jalan kepada Moni.
Dan setelah sampai di depan rumah Raka, lagi-lagi Moni terkagum-kagum dengan megahnya rumah Raka. Gaya eropa yang ditonjolkan rumah tersebut terlihat sangat elegan. Di halaman depan terdapat sebuah taman dengan bunga-bunga segar yang indah. Dan juga sebuah kolam ikan yang cukup besar yang terletak di dekat taman.
Moni tersadar dari kekagumannya. Dia mengucapkan terima kasih kepada satpam yang telah bersedia mengantarnya untuk sampai di rumah Raka.
Moni menekan bel dan menunggu jawaban dari dalam rumah. Sempat beberapa kali Moni melakukannya. Namun belum ada jawaban dari dalam. Kemudian… mulai ada gerakan dari dalam rumah. Pintu rumah mulai dibuka dan keluarlah seorang pembantu rumah Raka.
“Mencari siapa mbak??” tanya pembantu itu.
“Raka… ada??” tanya Moni.
Pembantu itu tampak sedikit bingung. Lalu seorang wanita muncul dari dalam rumah dan bertanya, “Siapa yang datang??” tanya wanita itu.
“Temannya Mas Raka Bu…” jawab pembantu itu.
Wanita itu keluar dan melihat siapa yang tengah mencari anaknya. Dan setelah mendapati seorang cewek manis di depannya, wanita itu langsung tersenyum dan menyambutnya. “Temannya Raka??” tanyanya ramah.
Moni merasa nggak enak. Dia malu sekali…. “Iya Tante…” jawabnya sedikit bingung. Sebenarnya, dia bukan teman Raka kan? Musuh mungkin lebih tepat.
“Ayo masuk….” Ajak mama Raka. “Kamu kok nggak sekolah? Bolos? Atau ingin menjenguk Raka?” tanyanya.
Menjenguk? Tunggu… apa Raka sakit?? Tanyanya dalam hati. “Emangnya Raka sakit ya Tante??” tanya Moni sedikit khawatir. Kalau Raka sakit, mana mungkin dia menyeret Raka ke lapangan futsal SMA Yadika kan? Waduhhh…. Teriaknya dalam hati.
Mama Raka agak sedikit bingung mendengar pertanyaan Moni. Lalu dia mengajak Moni naik ke lantai dua menuju kamar Raka. “Hmm… nggak juga…” jawaban yang membingungkan keluar dari mulut mama Raka.
Mama Raka mengambil sebuah kunci yang disimpannya di lemari kecil di samping sebuah kamar. Lalu membuka sebuah kamar dengan kunci tersebut. Ada perasaan bingung yang menyeliputi benak Moni. Apa kamar itu, kamar Raka?? Lalu… mengapa Raka dikunci di dalam kamar. Hmm… semoga saja dugaannya salah. Batinnya.
Tapi ternyata dugaannya nggak salah, melainkan benar. Yup… saat kamar itu dibuka, terlihat seorang cowok tengah duduk melamun melihat jendela yang dikelilingi dengan teralis besi. Raka!! Ada apa ini??
“Kemarin Raka demam, dan Tante nggak mengijinkan dia untuk ikut bertanding…” kata mama Raka sebelum dia mempersilakan Moni masuk.
Setelah Moni masuk ke kamar Raka, Moni melihat Raka tengah menatap kesal ke arah mamanya. Lalu, dia beralih pandang ke arah Moni dan menatapnya bingung. Raka nggak percaya Moni ada di rumahnya. Bahkan di kamarnya.
“Moni…” Raka mendekat ke arah Moni dan mengerti maksud kedatangan Moni. Meskipun dia bingung bagaimana Moni bisa sampai ke rumahnya. Siapa yang tega menyuruhnya? “Ma… tolong ijinin aku pergi Ma…” pinta Raka.
“Raka… Mama nggak bisa ijinin kamu ikut main futsal lagi… Nggak Raka…” kata mamanya mencoba melarang Raka entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Mon… gue tau kok lo pasti mau jemput gue kan?” tanya Raka sambil memegang pundak Moni.
Moni nggak bisa berkata-kata. Dia bingung sekali harus berkata apa. Dia juga nggak mengerti dengan pasti apa yang sebenarnya tengah terjadi antara ibu dan anak itu. Moni nggak ngerti kenapa mama Raka melarangnya untuk bermain futsal. Pasti ada alasannya. Pasti. Memang tujuannya menjemput Raka, tapi kalau begini keadaannya… Moni bingung harus berbuat apa.
“Moni… maaf sekali. Tante nggak bisa mengijinkan Raka pergi… Maaf…” kata mama Raka dengan hati-hati.
“Ma… sekali… ini aja. Tolong Ma…” pinta Raka dengan nada memohon.
Mama Raka tampak bingung dan sedih. Dan Moni terlihat makin bingung dengan situasi ini. Bingung sekali.
“E…e… Raka… nggak apa-apa kalo lo emang nggak bisa ikut. Mungkin lo memang masih sakit… gue… gue bakal jelasin sama anak-anak dan Pak Derry…” kata Moni kemudian.
“Sakit??” desis Raka sambil menatap bingung ke arah Moni. Lalu, Raka berpaling ke mamanya. “Siapa yang sakit Ma??” tanya Raka kesal.
“Raka…” mamanya mencoba menjelaskan. Tapi Raka sudah lebih dulu memotongnya. “Ma… kenapa sih??”
Raka dan mamanya lalu memutuskan untuk bicara empat mata tanpa ada Moni. Moni keluar kamar Raka dan menunggunya di luar. Sementara, Raka dan mamanya merundingkan sesuatu yang pastinya tidak diketahui oleh Moni.
Tak berapa lama, Raka dan mamanya keluar kamar. Raka sudah siap dengan tasnya. Dia tersenyum menatap Moni dan mengajaknya untuk segera pergi dari rumahnya. Dan sebelum pergi, mama Raka mengucapkan sesuatu untuk anaknya. “Raka… selamat berjuang ya…” katanya.
Canon in Love (Bab 3 & Bab 4)
Canon in Love (Bab 7 & Bab 8)
Senin, 07 Maret 2011
Canon in Love (Bab 5 & Bab 6)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar