THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 18 Mei 2011

Canon in Love Bab 11 & 12

BAB 11

Minggu pagi…
Farant dengan seriusnya menonton kartun kesukaannya. Tapi… tiba-tiba adik satu-satunya itu datang dan mengganggu acara santainya di hari libur. Alhasil, Farant langsung sentiment dengan adiknya yang sudah siap mengatakan sesuatu.
Farant tidak mempedulikan adiknya dan tetap saja menonton TV. Padahal, Moni sudah duduk di sampingnya dan hendak mengatakan sesuatu kepadanya. Melihat kakaknya yang tidak peduli kepadanya, Moni berpindah posisi. Dia berjalan munuju TV dan berdiri tepat di depan TV. Alhasil, perhatian Farant sudah bukan lagi kea rah kartun yang sedang ditontonnya, melainkan kea rah adiknya yang tidak member sedikitpun celah agar dia bisa menonton.
“Aduhh Dek… awas donk!! Lagi seru tuh..” teriak Farant.
Moni makin menjadi. Dia nggak mau kakaknya menonton kartun itu. Tindakannya malah lebih menjadi lagi. Dia mematikan secara paksa TV tersebut dan melotot kea rah kakaknya.
“Aduhh Dek… kok dimatiin sih??” tanya Farant sambil bergegas menyalakan TV kembali. Tapi akhirnya dia mengurungkan niatnya, lantaran Moni kini mulai cemberut dan memasang muka sedih. Tentu saja, Farant nggak tega melihat wajah adiknya yang super jelek itu. Dia pun mengalah dan dan mulai memberikan perhatian kepada adiknya.
“Kenapa sih??” tanya Farant kemudian.
“Aku mau ngomong…” jawab Moni kesal.
“Iyaaaa…. Iya… mau ngomong apa?” tanya Farant lagi.
Moni tersenyum puas karena akhirnya kakaknya mau bicara dengannya. “Kak… gimana kalo kita ajakin Bunda ke Singapore? Ngunjungin Ayah Kak…”
Wajah Farant berubah. Dia kini mulai bingung dengan perkataan adiknya itu. “Hah? Ke Singapore?” tanya Farant. Sementara Moni menganggukkan kepalanya. “Emm… emang kenapa Dek? Kamu kangen sama Ayah?” tanyanya kemudian.
Moni menganggukkan kepalanya lagi.
Farant berpikir sejenak. Entah apa yang dipikirkan olehnya. Tapi kemudian, dia tersenyum dan menyetujui saran adiknya. “Boleh juga… ya udah nanti kakak bantuin ngomong sama Bunda ya…”
***
Moni harap-harap cemas menunggu jawaban Bundanya agar menuruti keinginannya untuk menemui Ayahnya di Singapore. Tadi, Farant sudah menjadi juru bicara untuknya dan menjelaskan keinginan Moni untuk bertemu ayahnya. Memang agak aneh rasanya, karena kakaknya itu bisa secara tiba-tiba dan secara cuma-cuma mau begitu saja membantunya. Padahal, biasanya… Farant tidak pernah memberikan jasa gratis kepada adiknya. Entah kenapa, Moni melihat sisi lain di dalam diri kakaknya yang mendadak serius.
Bunda sedikit tersentak dengan perkataan Farant. Dia menatap kedua anaknya secara bergantian dan penuh kebingungan. Tapi kemudian, dia berpikir sejenak dan segera memberikan jawaban.
“Bunda akan usahakan supaya ayah pulang Mon…” jawab Bunda mencoba memberikan kepastian kepada Moni.
“Tapi Bunda… udah berapa kali ayah bilang kalau mau pulang? Tapi ayah nggak pulang-pulang. Mungkin ayah sibuk… jadi, kenapa bukan kita yang kunjungin ayah?” kali ini Moni tak lagi diam.
Bunda berpikir lagi sejenak. Lalu menatap Farant seolah meminta Farant untuk membantunya.
“Moni bener Bunda… mungkin memang kita yang seharusnya memberikan waktu untuk ayah…” kata Farant seolah mengerti maksud tatapan Bundanya.
Bunda makin bingung dengan situasinya. Kalimat Farant yang baru saja keluar dari mulutnya, sama sekali tidak membantu. Tapi malah makin membuat Bunda berada dalam situasi tersulit.
“Iya Bunda…” rengek Moni.
Setengah ragu, Bunda kemudian memutuskan. Meskipun dengan berat hati. “Ya udah… kamu boleh pergi menemui ayah. Tapi… kalau raport kamu nilainya bagus… bisa?”
“Beneran Bunda??” Moni membelalakan kedua bola matanya. Akhirnya dia bisa melepas rindunya kepada ayah. “Asikkk……”
Farant tersenyum tipis melihat kegirangan adiknya. Dan menatap Bundanya yang juga menatapnya.
***
Malam itu, Moni merenung sendiri di kamarnya. Sebenarnya, dia kasihan dengan Bunda. Dia nggak tega melihat Bunda harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli tiket dan memberi sejumlah uang untuk Moni agar bisa pergi ke Singapore. Moni, tau… mungkin hal itulah yang membuat Bunda mempertimbangkan secara matang.
Tapi Moni punya usul agar meminta ayahnya mengirimkan uang agar Moni bisa pergi ke Singapore. Dan jawaban Bunda hanya, “Nanti Bunda usahakan…”. Tidak begitu jelas maksud Bunda yang sebenarnya. Apakah akan mengusahakan sendiri, ataukah memintanya kepada ayah.
Dan Moni sangat sulit membayangkan, jika Bunda mengumpulkan sebagian uang gaji Bunda yang hanya seorang guru SMP. Tapi Bundanya berjanji akan memberangkatkan dirinya untuk menemui ayahnya. Dan… Bunda bilang, hanya Moni saja yang akan pergi ke Singapore. Itu yang sebenarnya membuat Moni bingung.
Tak lama kemudian, ponsel Moni berbunyi. Ada sms… desis Moni. Moni meraih ponselnya yang diletakkan di meja belajarnya. Dengan segera dia membaca sms yang masuk. Dan nomer yang tertera di layar ponselnya adalah nomer yang belum tersimpan di ponselnya.
Gimana? Lo baik-baik aja kan?
Begitulah bunyi pesan singkat dari seorang yang tidak dikenal oleh Moni. Tapi… sepertinya Moni tau siapa orang itu. Awalnya, Moni bingung akan membalas pesan dari orang itu atau nggak. Namun akhirnya dia penasaran juga dengan siapa orang yang mengirimkan pesan kepadanya. Tanpa basa-basi apalagi membalas pertanyaan orang tersebut, Moni pun membalas pesan orang tersebut yang berbunyi,
Siapa?
Pesan terkirim. Tak lama kemudian ponsel Moni berbunyi lagi. Rupanya balasan sms dari orang di sebrang.
Manusia…
Jawab orang itu asal. Sementara itu, Moni geram sekali dengan jawaban orang itu. Dia pun membalas sms orang itu dengan jutek dan kesal.
Gue kira monyet!!
Tak lama kemudian orang itu membalas sms Moni. Dan mata Moni terbelalak ketika dibacanya balasan sms dari orang di sebrang.
Hahaha… nggak jauh beda. Ternyata lo memang jutek ya… Gue Raka. Sori deh bikin lo kesel.
Huh!! Teriak Moni dalam hati. Dia memang sudah mengira kalau orang itu Raka. Mestinya tidak perlu dia membalas pesan itu.
Ngapain lo sms gue?
Tanya Moni lagi-lagi jutek.
Loh… tadi kan gue tanya sama lo, lo baik-baik aja or nggak. Trus juga sekalian gue mau tanya sama lo, gimana tentang bokap lo?
Dasar sok perhatian!! Batin Moni.
Gue baik-baik aja. Soal bokap gue, gue udah ngomong kok sama nyokap gue. Sekarang gentian gue yang tanya. Darimana lo dapetin nomer HP gue?
Raka tersenyum tipis membaca sms dari Moni.
Dari orang lah…
Membaca balasan sms dari Raka, Moni kembali kesal. Dia pun nggak mau kalah dan membalas lag isms untuk Raka.
Cepet deh lo bilang aja siapa yang ngasih nomer gue ke lo… Rani?
Tapi, Raka nggak lagi membalas sms dari Moni. Bermenit-menit, bahkan sampai hitungan jam, Raka tidak juga membalas sms dari Moni. Entah kenapa Raka tiba-tiba tidak membalas sms dari Moni. Yang jelas, Moni kesal dan marah sekali dengan itu.














BAB 12

Keesokkan harinya, Raka tidak masuk sekolah. Padahal,dia sudah menunggu-nunggu cowok itu dan siap mengintrogasinya. Tapi rupanya memang Moni harus bersabar. Dia mpun menunggu keesokkan harinya lagi. Ya… mungkin saja Raka akan datang ke sekolah dan disituah cewek itu siap untuk memarahinya. Tentunya karena Raka tidak membalas sms, yang dianggap Moni sangat penting sekali.
Tapi sayangnya, Raka tidak masuk sekolah lagi untuk kedua kalinya. Dan itu berlanjut sampai satu minggu. Moni mulai bertanya-tanya kemana Raka selama dia tidak masuk. Kalau memang sakit, kenapa sampai begitu lama. Dan memang sepertinya Raka tidak sakit, karena Pak Bono hanya minta kepada sekertaris kelas yang mengabsen anak-anak yang hadir untuk menuliskan ijin untuk Raka.
Hari senin berikutnya, yang merupakan ujian kenaikan kelas, barulah Raka muncul. Dengan gayanya yang khas, yaitu dengan senyuman yang tersungging di bibirnya, cowok itu duduk di bangku urut sesuai dengan nomer peserta ujian.
Kali ini, Moni dan Raka tidak lagi duduk bersebelahan. Moni mendapat tempat duduk nomer dua dari depan, sedangkan Raka nyaris duduk di bangku bagian belakang. Dan sejak cowok itu datang, pandangan Moni tak lepas dari cowok itu. Dia terus menatap Raka yang baginya sangat menyebalkan. Raka sadar banget dengan tatapan Moni yang tak lepas darinya. Dan akhirnya, cowok itu menatap balik Moni yang melihatnya dari bangku depan. Dan seperti biasa, Moni yang tertangkap basah oleh Raka karena diam-diam mencuri pandang ke arah Raka pun langsung mengalihkan pandangannya. Cewek itu berbalik badan dan tidak lagi membelakangi papan tulis. Dan Raka, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Moni.
Sementara itu, Moni yang sejak tadi megamati Raka, rupanya menangkap sesuatu yang lain dari diri Raka. Entahlah itu hanya perasaannya saja, atau memang benar ada yang berbeda dari cowok itu. Raka terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Padahal, katanya Raka selama seminggu tidak sakit tapi hanya pergi ke luar kota atau malah ke luar negeri. But, whatever-lah… Raka sakit atau nggak toh bukan urusannya sama sekali. Moni langsung membuang jauh-jauh rasa penasarannya dan dia mau melupakan kejadian malam itu. Dia nggak akan bertanya-tanya kenapa Raka tidak membalas pesannya. Never!! Cowok itu pasti akan jadi besar kepala!! Batinnya.
Kring!! Tanda masuk telah berbunyi. Waktunya ujian akan dimulai. Guru yang hari itu mengawas ujian Bahasa Indonesia pun telah datang dan bersiap membagikan kertas ujian beserta soalnya. Kertas ujian dibagikan oleh Bu Hana dengan memberikannya kepada barisan yang paling depan. Setelah semua siswa mendapat kertas masing-masing, semua siswa mulai mengerjakan soal-soal yang diberikan.
***
“Mon, sorry… waktu itu gue nggak bales sms dari lo…” Raka menarik lengan Moni ketika Moni akan pergi ke kantin.
Huh… kenapa baru minta maaf sekarang? Nggak sekalian aja tahun depan!! Udah basi banget tauuu…. Teriak Moni dalam hati. “Ohhh… gue nggak marah kok!! Lo kira gue marah??” kata Moni jutek. Moni melepaskan lengannya dari genggaman tangan Raka. Dan setelah lengannya terlepas dari genggaman Raka, Moni langsung melangkahkan kakinya kembali menuju kantin.
Raka tidak menahan Moni lagi. Dia malah berjalan mengekor di belakang Moni. “Ohh… nggak mau tau ya gue dapet nomer lo siapa?” tanya Raka geli.
“Nggak!!” jawab Moni singkat.
Raka tidak membalas perkataan Moni. Dia diam saja dan sedikit berpikir. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas Raka terlihat tidak lagi ceria seperti sebelumnya. Lalu, Raka dikagetkan dengan suara Moni yang tiba-tiba saja membuyarkan segalanya. “Lo ngapain sih ngikutin gue?” kata Moni kesal.
“Emangnya gue ngikutin lo?” tanya Raka datar. Tiba-tiba saja, semangatnya hilang. Dia ingin kembali seperti biasanya. Menggoda Moni, menjawab pertanyaan cewek itu dengan santai, dan membuat cewek itu kesal. Tapi… dia sedang dalam keadaan, dimana dirinya tidak lagi bisa tersenyum geli melihat amarah yang tiba-tiba muncul di dalam diri Moni. Dia bisa melakukannya. But, he’s just pretending!!
“Iya… dari tadi lo ngikutin gue…” jawab Moni lagi-lagi dengan nada kesal. Moni membaca sesuatu di raut wajah Raka. Ada yang berbeda. Batinnya.
Tapi sesaat kemudian, Raka kembali tersenyum tipis. Kali ini, dia mulai bisa mengkondisikan kebiasaannya seperti sedia kala. Dan kali ini, tidak berbeda. Batin Moni.
“Ya udah… sekarang lo tunjukin sama gue jalan kea rah kantin selain jalan ini…” balas Raka yang mebuat Moni kalah telak. Ya, karena Raka memang benar. Nggak ada lagi jalan menuju kantin, selain jalan yang sedang dilalui mereka berdua.
Moni diam tanpa mengatakan apapun. Dia bingung mau menjawab apa.
“Ke kantin cuma lewat sini doang kan??” tanya Raka dengan senyum tipisnya lagi. Dan senyum tipis Raka yang sebenarnya senyuman iklas, bagi Moni senyum itu adalah senyuman picik nan liciknya Raka. Pasti cowok itu merasa menang!!! Batin Moni.
Moni membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Raka. Terserah cowok itu mau ke kantin lewat mana saja. Yang penting sekarang, Moni ingin segera sampai ke kantin dengan jarak yang agak jauh dari Raka.
***
Ujian semester kenaikan kelas telah berakhir. Kini hanya tinggal penentuan bagi semua anak apakah akan naik kelas atau tidak. Dan hari itu, merupakan hari yang sangat penting bagi Moni. hari dimana keputusan Bunda untuk memberangkatkannya ke Singapore atau tidak. Jika nilai raportnya baik, maka Moni akan terbang ke Singapore. Tapi kalau tidak, ya… mungkin Moni harus lebih bersabar lagi.
Hari itu, Bunda menyempatkan waktunya untuk mengambil raport Moni di sekolahnya. Bunda mengenakan batik modern yang sangat cantik. Sementara Moni, tetap dengan seragam putih abu-abunya.
Terlihat semua wali murid sudah berkumpul di depan kelas Moni beserta anak-anaknya. Termasuk juga mama Raka yang sudah menunggu di depan pintu kelas yang masih tertutup. Pandangan Moni langsung jatuh kepada ibu dan anak tersebut. Begitupun dengan Raka yang merasa sadar kalau ada seorang cewek yang tengah menatapnya.
Mama Raka menangkap sesuatu dari tatapan Raka yang tertuju ke suatu arah. Dan setelah dirinya mencoba menatap kea rah yang dituju oleh Raka, mama Raka langsung mengerti. Beliau lalu mengajak Raka menghampiri Moni yang sedang mengobrol dengan Rani dan mamanya.
“Moni…” sapa mama Raka.
Moni menoleh kea rah suara berasal. Begitupun dengan Bunda, Rani dan mama Rani yang juga ikut menoleh kea rah suara itu berasal. “Tante…” balas Moni dengan senyumannya.
“Kamu apa kabar?” tanya mama Raka dengan ramah.
“Baik Tante…” Moni mengerti dengan tatapan Bundanya yang seolah bertanya-tanya siapa wanita cantik yang tengah mengajaknya bicara itu. “Ohh iya, Bunda ini mamanya Raka, temen aku… Tante, ini Bunda aku…” kata Moni mencoba memperkenalkan. “Ini Rani, dan ini mama Rani…”
Raka nggak nyangkan kalau Moni akan bilang bahwa dia adalah temannya. Selama ini, gadis itu selalu membencinya. Itu yang dilihat olehnya. Walaupun Raka tau benar, Moni itu tulus dan baik.
Sambil menunggu pintu kelas dibuka oleh wali kelas, Bunda beserta mama Raka dan Rani berbincang-bincang. Begitupun dengan Moni dan Rani yang juga berbincang-bincang dengan obrolan seputar hal-hal yang nggak penting. Apapun bisa jadi bahan obrolan. Selama waktu menunggu tidak membosankan. Sementara itu, Raka lebih memilih mengotak-atik ponselnya daripada ikut ngerumpi. Ya… jelas saja, dia kan cowok sendiri.
Tak berapa lama kemudian, Pak Bono datang dengan membawa tumpukkan raport yang siap dibagikan kepada wali murid-muridnya. Tentunya, bukan hanya raport saja yag dibawa olehnya. Semalam suntuk, Pak Bono pasti sudah mempersiapkan apa saja yang akan menjadi bahan tambahan yang akan disampaikan kepada wali murid. Tentu aja omelan bagi murid yang nilainya turun, ancur, jelek, banyak merahnya, apalagi sampai nggak naik kelas.
Semua wali murid yang hadir duduk secara acak dimana saja ada bangku kosong. Termasuk Moni dan Bundanya yang duduk di bangku tengah. Pembagian raport dimulai berdasarkan abjad. Dan, yang pertama kali dipanggil adalah Anton yang no urut absennya pertama. Tampak raut wajah bingung yang diperlihatkan oleh Anton. Mungkin saja, cowok itu takut kalau dia nggak naik kelas. Ya, memang dia agak sedikit bandel di kelas.
Beberapa murid yang no urut absennya lebih dulu sudah dipanggil oleh Pak Bono. Meskipun ada saja murid yang namanya dilewati lantaran orangtuanya belum datang. Sebentar lagi, nama Moni akan dipanggil. Hanya tinggal menunggu tiga nama murid yang no urutnya diatas Moni saja. Jantung Moni berdegub kencang. Tak seperti biasanya. Ini pertaruhan!! Batinnya.
Tiba-tiba, ponsel Bunda berbunyi. Bunda langsung merasa nggak enak, kala ponselnya berbunyi nyaring dan menjadi pusat perhatian. Beliau langsung meminta ijin untuk keluar dan mengangkat telpon dari nomer yang tidak dikenal olehnya.
“Halo…” terdengar suara seorang cewek. Suara cewek itu bergetar dan seperti orang bingung. Bunda langsung menanyakan siapa cewek itu. Dan setelah Bunda tau apa yang telah terjadi, Bunda tak lagi bisa berkutik.
Bunda masuk ke dalam kelas Moni dan meminta waktu sebentar kepada Pak Bono. Setelah Pak Bono mengijinkannya, dia meminta Moni untuk mengambil raportnya sendiri dan menyusulnya ke Rumah Sakit Pelita. Moni bingung dan nggak mengerti. Tapi Bundanya enggan menjelaskan, karena beliau terburu-buru. Moni pun menahan rasa penasarannya hingga nanti pulang sekolah. Walaupun sebenarnya, dia khawatir dan gelisah.
Hal itu tidak hanya dirasakan oleh Moni. Tapi juga oleh Rani dan Raka yang juga ikut bersimpati. Walaupun mereka nggak tau pasti apa yang sebenarnya telah terjadi, tapi Bunda terlihat sangat panik dan khawatir.

Canon in Love (Bab 9 & Bab 10)
Canon in Love (Bab 13 & Bab 14)

0 komentar: